Oleh: Nasikah.
SP
Petani
sering mengeluhkan penurunan produksi dari tahun ke tahun. Banyak yang berpikir
karena kurangnya asupan makanan yang menjadikan hal tersebut, sehingga
kebanyakan petani semakin meningkatkan pemberian pupuk anorganik pada lahan
pertaniannya. Bayangkan saja, jika petani menggunakan pupuk urea kurang lebih
400 – 500 kg per hektarnya, sedangkan penggunaan urea yang disarankan hanya
berkisar antara 250-300 kg perhektar, itu berarti petani melakukan penambahan
pemakaian hampir 100% dari yang dianjurkan oleh BPTP Prop. Sulawesi Tengah.
Ketergantungan
penggunaan pupuk anorganik serta kurangnya pengetahuan, yang menjadikan hal
tersebut semakin parah. Hal tersebut memicu banyaknya peneliti melakukan riset
tentang penanggulangan ketergantungan penggunaan pupuk tersebut dengan cara
yang mudah dan murah, salah satunya dengan mengembalikan jerami sisa pemanenan ke lahan persawahan. Hal ini
didasari oleh hasil penelitian yang menggambarkan bahwa banyak unsur hara yang
terbuang percuma jika jerami tersebut tidak dikembalikan ke lahan persawahan.
Kebiasaan
petani melakukan pembakaran jerami sesudah panen juga membuat tingkat kejenuhan
tanah menjadi lebih parah. Hal ini juga yang memicu terjadinya perubahan iklim.
Why ? karena pembuangan CO2 yang berlebih ke udara akibat pembakaran jerami
memicu peningkatan efek rumah kaca. Jadi jangan heran jika sekarang Sulawesi
Tengah, khususnya Kab. Sigi yang merupakan salah satu penghasil beras terbesar
di Sulawesi Tengah mendapat peringatan WASPADA dampak perubahan iklim.
Saat ini
banyak petani yang mengeluhkan gagal panen akibat perubahan musim yang tdk
menentu. Sekarang pun banyak bermunculan hama-hama yang baru ditemui, yang
dulunya hanya ada di Pulau Jawa, sekarang hama tersebut bisa juga berkembang
didaerah yang minim hujan seperti Sulawesi Tengah ini. Jadi bersiaplah
menghadapi hal yang lebih parah lagi, jika perlakuan-perlakuan negative yang
sering petani terapkan, tidak dicegah mulai dari sekarang.
Menurut penelitian, ketika kita memanen
padi 5 ton gabah kering dari 1 ha sawah maka kita telah kehilangan unsur hara 150 kg N, 20 Kg P, 150 Kg K dan 20 Kg
S yang terbawa oleh hasil panen kita. Dari hasil panen 5 ton gabah kering
tersebut biasanya akan menghasilkan 7,5 ton jerami. Di Indonesia rata-rata
kandungan unsur hara yang terkandung dalam jerami adalah 0,4 % N, 0,02 % P, 1,4
% K dan 5,6 % Si. Dan yang perlu diketahui adalah ketika kita memanen padi 5
ton/ha akan menghasilkan jerami sebanyak 7,5 ton yang mengandung 45 kg N, 10 Kg
P, 125 Kg K, 10 Kg S, 350 Kg Si, 30 Kg Ca 10 Kg Mg.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
maka petani dapat mengurangi biaya produksinya sekitar Rp. 900.000, jika
kandungan unsure hara tersebut diaplikasikan pada penggunaan pupuk anorganik
seperti Urea, SP36 dan KCl.
Jadi, apa yang membuat petani enggan
melakukan hal tersebut ?. Petani pada
umumnya melakukan pengolahan lahan dengan rentan waktu penanaman yang sangat
pendek, mereka dapat melakukan pengolahan lahan persawahan selama kurang lebih
1 minggu dan melakukan pindah tanam sehari sesudahnya, sehingga pengaplikasian
pengembalian jerami ke lahan persawahan sangat sulit dilakukan. Kendala yang
lain adalah masih minimnya pengetahuan petani dalam pengaplikasian pengembalian
jerami pada lahan persawahan, serta waktu pengolahan yang cukup memakan waktu
dan tenaga, karena proses pengomposan biasanya dilakukan dengan cara membolak balik
bahan komposan untuk membantu mempercepat proses pengomposan, selain itu jika
bahan komposan terdiri dari jerami padi dan activator seperti EM4 saja, masih
perlu dilakukan pencacahan jerami, untuk mempermudah pembusukannya. Hal inilah
yang membuat Petani lebih tertarik pada cara peningkatan produksi yang lebih
mudah, meskipun dampak jangka panjang yang dihasilkan sangatlah merugikan.
Tapi sekarang, cara pengomposan
tersebut bisa dikatakan teknologi jadul alias teknologi jaman dahulu. Karena
sekarang telah ditemukan activator yang lebih mudah digunakan dan tanpa
pencacahan terlebih dahulu. Activator tersebut di teliti dan dikembangkan oleh
para peneliti di Institut Pertanian Bogor, yang sekarang lebih dikenal dengan
nama PROMI. Meskipun activator tersebut belum beredar luas dipasaran, tapi
inilah salah satu pengembangan dan inovasi teknologi yang dapat mempermudah
petani dalam melakukan pengomposan jerami. Hanya dengan menggenangi lahan
pertanian yang telah diberikan jerami, lalu disemprotkan aktivator, dan
dibiarkan selama kurang lebih 3-4 minggu, maka petani sudah dapat menggunakan
lahan pertaniannya dengan lebih bijak dan lebih menguntungkan.
Penggunaan
pupuk organik dari hasil pengolahan jerami ini akan berpengaruh pada tingkat
kesuburan tanah, karena selain menambah unsur hara didalam tanah, juga akan
mempermudah dalam pengolahan lahan persawahan.
Luar biasa bukan ? hanya dengan
mengembalikan jerami ke lahan pertanian, petani sudah dapat memangkas
penggunaan pupuk anorganik yang semakin hari semakin langka dan semakin mahal,
selain itu dapat membantu kelestarian lingkungan. Jadi, mengapa harus membakar
jerami, kalau pengembalian jerami jauh lebih menguntungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar